Selasa, 06 Maret 2018

KEBUDAYAAN INDONESIA

Jaranan Buto Banyuwangi yang Semakin Mendunia



Fajar pradina
Redaksi Travel
Penampilan Jaranan Buto (Kurnia/detikTravel)


Foto: Jaranan Buto (Kurnia/detikTravel)
Kuala Lumpur - Banyuwangi punya kesenian Jaranan Buto. Kesenian ini kian dikenal di mata dunia, seperti baru-baru ini tmapil di negeri tetangga, Malaysia.

Mungkin traveler sering mendengar atau melihat atraksi Jaran Kepang, tapi selain itu dari Jawa juga ada Jaranan Buto.

Jaranan Buto disebut-sebut sebagai salah satu kesenian tertua di Banyuwangi. Kesenian tersebut kini tak hanya dikenal di Indonesia, tapi juga di luar negeri seperti Malaysia.

Warga Banyuwangi yang merantau di Malaysia pun banyak yang terus berusaha melestarikan Jaranan Buto. Seperti dengan membentuk grup kesenian Jaranan Buto Sekar wangi, yang sudah sering menampilkan kesenian Banyuwangi ini di pameran pariwisata hingga pernikahan di Negeri Jiran.

"Banyak acara, selain main di pentas, diundang di kawinan, pesta rakyat," ujar Ahmad Aziz, Ketua grup kesenian Jaranan Buto Sekar Wangi kepada detikTravel di Pavilion Kuala Lumpur, Malaysia, Minggu (21/5/2017) kemarin.

Penampilan Jaranan Buto (Kurnia/detikTravel)


Jaranan Buto menampilkan atraksi bernuansa kombinasi Jawa serta Bali. Hasilnya pun unik dan menarik buat disaksikan.

"Melihat lokasi banyuwangi yang strategis antara perbatasan Pulau Jawa dan Pulau Bali, maka Jaranan Buto ini tumbuh dengan mengadopsi kesenian Jawa dan Bali," jelas Irzal Maryanto, pelaku seni yang tergabung dalam Jaranan Buto Sekar Wangi.

Untuk perlatan yang digunakan, tampilannya sekilas mirip Jaran Kepang. Namun bahan yang digunakan untuk membuatnya berbeda, misalnya saja replika kuda yang digunakan selama atraksi.

"Kalau Kuda Lumping atau Kuda Kepang kan memakai anyaman bambu replika kudanya. Nah kalau Jaranan Buto replika kudanya dibuat dari kulit kerbau yang dibentuk seperti buto raksasa," katanya.

Pementasan yang menarik perhatian pengunjung (Kurnia/detikTravel)Pementasan yang menarik perhatian pengunjung (Kurnia/detikTravel)


Riasan wajah para performer terdiri dari kombinasi tiga warna, yaitu merah, hitam dan putih. Masing-masing warna punya makna tersendiri.
Foto:

"Semua itu memberikan makna. Kalau hitam misalnya, melambangkan keteguhan, bagaimana tentara pejuang harus mempunyai jiwa yang teguh," tutur Irzal.

Sedangkan merah menjadi simbol dari semangat pantang menyerah, semangat keberanian. Untuk putih maknanya kesucian.

"Walaupun mukanya seram tapi ada putih di situ simbol kebersihan atau kesucian, kejernihan hati," katanya.

Punya banyak makna (Kurnia/detikTravel)Punya banyak makna (Kurnia/detikTravel)


Atraksi Jaranan Buto biasanya berlangsung 30-40 menit dengan 6-8 orang penampil, tapi memang bisa bervariasi tergantung acaranya. Selama atraksi berlangsung ada cerita tersendiri yang dibawakan.

"Banyak, macemnya kisah-kisahnya. Jadi kalau di Banyuwangi mengambil perwatakan Minak Jinggo, Raja Blambangan yang sangat tersohor," ucap Irzal.

"Perwatakan yang keras, berani. Tetapi di balik semua itu ada filosofinya. Walaupun seram seperti buto, seperti raksasa, di balik keseraman itu mempunyai jiwa yang lembut," imbuhnya.

Saat grup Sekar Wangi menampilkan Jaranan Buto pada Indonesia Street Bukit Bintang Fiesta yang digelar Kemenpar bekerjasama dengan KBRI Kuala Lumpur kemarin, mereka juga menggambarkan kegigihan para tentara berkuda.

"Nyeritain tentang kegigihan semangat para tentara berkuda. Dari semua gerakan-gerakan ini mencerminkan gerakan semangat juang para tentara berkuda," tutur Irzal.

Kesenin unik ini pun terus dilestarikan agar tak hilang ditelan zaman. Pemerintah Kabupaten Banyuwangi berupaya melestarikannya dengan mengemasnya sebagai festival tahunan. Traveler yang penasaran ingin menyaksikan seperti apa Festival Jaranan Buto pun tinggal datang saja ke Banyuwangi.

"Kesenian rakyat yang hampir punah tapi oleh pemerintah dilirik dengan mengadakan Festival Jaranan Buto. Termasuk agenda event tahunan Banyuwangi. Ada sekitar 50-80 grup Jaranan Buto ditampilkan selama 3 hari," ujar pria yang menabuh gendang kala Sekar Wangi tampil di Indonesia Street Bukit Bintang Fiesta ini. (krn/aff)

SOSOK ABIMANYU

Wayang Mahabharata: Abimanyu dan Sumpah Asmaranya

SHARE:

Dalam pewayangan Jawa, Abimanyu, merupakan tokoh penting. Termasuk tokoh yang kuat karena mendapatkan Wahyu Makutha Raja, yakni wahyu yang keturunannya akan menjadi penerus tahta Para Raja Hastina. Selaiin itu, Abimanyu merupakan makhluk kekasih Dewata. Sejak dalam kandungan telah mendapat “Wahyu Hidayat”, yang mampu membuatnya mengerti dalam segala hal. Setelah dewasa Abimanyu mendapat “Wahyu Cakraningrat”, suatu wahyu yang dapat menurunkan raja-raja besar.


Nama lain Abimanyu cukup banyak. Putra Arjuna ini juga dipanggil Angkawijaya, Jaya Murcita, Jaka Pengalasan, Partasuta, Kirityatmaja, Sumbadraatmaja, Wanudara dan Wirabatana. Abimanyu mempunyai 13 orang saudara lain ibu, yaitu: Sumitra, Bratalaras, Bambang Irawan, Kumaladewa, Kumalasakti, Wisanggeni, Wilungangga, Endang Pregiwa, Endang Pregiwati, Prabakusuma, Wijanarka, Anantadewa dan Bambang Sumbada.

Sifat Abimanyu  
Watak Abimanyu dikenal halus tingkah lakunya, tenang tututr katanya, namun hatinya keras. Punya rasa tanggung jawab besar dan pemberani. Ketrampilan perangnya didapat dari ajaran ayahnya, Arjuna. Sedang ilmu kebathinan mendapat bimbingan dari kakeknya, Bagawan Abiyasa. Abimanyu tinggal di kesatrian Palangkawati, setelah dapat mengalahkan Prabu Jayamurcita.

Istri Abimanyu  
Istri Abimanyu ada dua orang,yakni ; Dewi Siti Sundari, (puteri Prabu Kresna, Raja Negara Dwarawati ) dan Dewi Utari, (puteri Prabu Matsyapati). Istri pertama Abimanyu adalah Dewi Siti Sundari. Namun
ketika melamar Dewi Utari, Abimanyu mengaku belum punya istri. Untuk memperkuat pengakuannya, Abimanyu bersumpah, apabila dirinya telah beristri maka siap mati tertusuk berbagai senjata ketika perang Bharatayuddha.

Kematian Abimanyu
Sumpah Abimanyu itu ternyata terwujud. Abimanyu gugur dalam perang Bharatayuddha. Dalam perang ini Abimanyu terperangkap sendiri ke tengah barisan Kurawa dalam formasi yang disiapkan pasukan Kurawa. Karena itu, Kurawa menghujani tubuh Abimanyu dengan aneka senjata sampai Abimanyu  jatuh dari kudanya. Dalam pewayangan, lukanya digambarkan seperti arang kranjang (= banyak sekali). Abimanyu terlihat seperti landak karena berbagai senjata menancap di tubuhnya.

Sebelum terperangkap Kurawa, seluruh saudara Abimanyu mendahului gugur. Saat itu, pihak Pandawa yang masih berada bertahan di medan perang hanya tiga orang, yakni; Bima, Arjuna dan Abimanyu. Gatotkaca sudah menyingkir. Sedang Bima dan Arjuna dipancing pihak Korawa untuk keluar dari medan pertempuran, sehingga tinggal Abimanyu sendiri yang masih di medan perang. Ketika tahu semua saudaranya gugur Abimanyu menjadi lupa untuk mengatur formasi perang. Akibatnya, Abimanyudihuani senjata oleh pasukan Kurawa.

Walau tubuhnya banyak senjata menancap hingga tak bisa berjalan, Abimanyu tetap tak menyerah. Bahkan, Abimanyu berhasil membunuh putera mahkota Hastinapura, Lesmana Mandrakumara (putera Prabu Duryudana) dengan melemparkan keris Pulanggeni. Pihak Korawa tahu bahwa untuk membunuh Abimanyu, mereka harus memutus langsang yang ada didadanya, kemudian Abimanyu pun gugur oleh gada Kyai Glinggang atau Galih Asem milik Jayadrata, satria Banakeling.



CERITA RAMAYANA

Anoman Obong, Kumbakarna Gugur, dan Api Suci Shinta

By mangkoko : last updated 14 Apr 2016

Anoman Obong (Hanuman Obong) adalah segmen cerita paling menarik dari pementasan kisah Ramayana di Teater Terbuka Candi Prambanan. Adegan saat Hanuman di bakar hidup-hidup menjadi klimaks seluruh rangkaian pertunjukan. Dalam pementasan wayang, baik wayang orang maupun wayang kulit. Kisah si kera sakti yang tak mempan dibakar, malah ganti membakar dan mengobrak-abrik kerajaan Alengka menjadi salah satu cerita favorit yang sering dipantaskan.
Hanuman membakar negeri Alengka
Hanuman membakar negeri Alengka
Pada bagian pertama: Kisah Cinta Rama dan Shinta, telah diceritakan sampai Hanuman sebagai utusan Rama telah bertemu dengan Shinta di Taman Argasoka. Dan memastikan Shinta dalam keadaan selamat.
Setelah selesai dengan urusannya menemui Shinta, Hanuman tidak segera pergi untuk melapor kepada Rama, namun sengaja membuat huru hara di kerajaan Alengka dengan merusak keasrian Taman. Dia pengin menjajagi sejauh mana kekuatan angkatan perang Alengka. Rahwana sangat marah mendengar huru-hara ini dan Hanuman-pun akhirnya tertangkap oleh Indrajid putera Rahwana.
Rahwana bermaksud membunuh Hanuman, namun dicegah oleh Kumbakarna. Rahwana tampaknya tidak suka dengan tingkah Kumbakarna, sehingga diusirlah sang adik dari Kerajaan Alengka. Hanuman tetap dijatuhi hukuman mati dengan cara dibakar hidup-hidup.
Membakar hidup-hidup Hanuman ternyata bukan tindakan yang tepat, karena ternyata malahan menjadi malapetaka bagi Alengka. Sang kera putih bukannya mati terbakar, namun merajalela menggunakan api yang berkobar pada tubuhnya untuk membakar kerajaan Alengka. Bahkan dia berhasil melarikan diri dan melaporkan peta kekuatan angkatan perang Alengka kepada Rama Wijaya.
Singkat cerita, terjadilah perang besar di Alengka. Rama dengan bala tentara pasukan para kera menyerbu Alengka. Sedangkan para raksasa bala tentara Alengka menahan serbuan para kera sakti dengan gagah berani pula.
Pada pementasan Sendratari Ramayana, adegan peperangan ini diramu dengan koreografi sangat apik. Dimainkan oleh para penari profesional yang tahu benar bagaimana menampilkan olah tari yang enak ditonton.
Gerak tubuh adalah bahasa universal. Mereka tampaknya berhasil mengeksploitasi keunggulan itu menjadi tontonan yang mudah dicerna oleh siapapun. Baik orang dewasa maupun anak-anak. Bahasa verbal tak lagi menjadi halangan untuk menikmati pertunjukan. Banyak wisatawan asing yang terkagum-kagum menyaksikan gerakan tari yang lincah dan padu. Bahkan juga memantik syaraf tawa saat adegan tari lucu para denawa dan bala tentara kera yang dimainkan para penari anak-anak.
Tarian perang bala tentara Alengka yang sering memantik syaraf tawa
Tarian perang bala tentara Alengka yang sering memantik syaraf tawa
Kumbakarna Gugur
Di tengah medan perang yang dahsyat, tersebutlah kehebatan Kumbakarna yang turut berperang membela negara Alengka. Karakter sang adik Rahwana ini sangat menarik untuk disimak. Meskipun berwujud raksasa jelek, kasar dan posturnya tinggi besar, namun sesungguhnya Kumbakarna adalah pribadi yang jujur, bijaksana dan memiliki jiwa nasionalisme yang mengagumkan.
Dia tahu benar bahwa tindakan Rahwana sang kakak tidak benar. Bahkan dia berusaha selalu mengingatkan, meskipun tidak pernah digubris Rahwana.
Karena negeri Alengka tanah tumpah darah-nya diserang musuh, jiwa nasionalisme Kumbakarna terketuk. Dia berdiri di barisan terdepan untuk membela tanah tumpah darah sampai titik darah penghabisan.
Kisah perang tanding antara Rama dengan Kumbakarna ini sungguh unik. Keduanya mati-matian mempertahankan keyakinan akan kebenaran masing masing, namun dibalik itu keduanya saling menaruh simpati dan rasa hormat pada sang lawan. Kumbakarna menyadari bahwa Rama benar karena berjuang menyelamatkan isterinya, dilain pihak Rama juga mengagumi keteguhan Kumbakarna yang membela tanah airnya mati-matian, bukan membela Rahwana sang angkara murka.
Dikisahkan betapa Rama harus bertarung sangat keras untuk mengalahkan Kumbakarna. Saat kedua tangannya telah terpotong, Kumbakarka masih mampu berperang dengan kakinya yang berukuran raksasa menginjak-injat baletentara kera. Kemudian Rama memotong kedua kali Kumbakarna, namun dia maih tetap berperang dengan menggelindingkan tubuhnya yang luar biasa besar. Namun akhirnya Kumbakarna gugur sebagai pahlawan bangsa setelah terkena panah sakti Rama.
Mengantar kepergian arwah Kumbakarna, sang pahlawan
Mengantar kepergian arwah Kumbakarna, sang pahlawan
Api Suci ShintaDi Taman Argasoka yang belum tersentuh kedahsyatan peperangan yang ada di sekitarnya, Shinta terus menolak bujuk rayu Rahwana. Namun ketika Rahwana menunjukkan potongan kepala Rama dan Laksmana, dia jatuh pingsan. Mengetahui kejadian ini, Trijata marah kepada Rahwana, dia tahu itu semua hanyalah siasat licik Rahwana, karena sesungguhnya Rama dan Laksmana masih berperang di luar taman.
“Jika engkau laki-laki jantan, bukan pengecut, bawalah kepala Rama dan Laksmana yang asli, bukan membuat tipu muslihat licik seperti itu!”, hardik Trijata kepada Rahwana.
Dengan rasa malu dan marah yang ditahan, Rahwana segera pergi menuju medan perang. Suasana peperangan sudah berat sebelah. Kekalahan Alengka sudah diujung tanduk. Kumbakarna telah gugur, demikian pula sebagian balatentanya sudah terluka dan kepayahan.
Rahwana akhirnya berhadapan langsung dengan Rama. Rahwana sendiri adalah seorang yang sangat sakti sehingga tidak mudah bagi Rama untuk mengalahkannya. Bahkan dia juga dijuluki Dasamuka, yang artinya bermuka sepuluh, dan sering diinterpretasikan dengan bernyawa rangkap 10, sehingga sangat sulit untuk dibinasakan. Namun dengan bantuan Hanuman akhirnya Rahwana binasa, tubuhnya tetancap anak panah sakti Rama dan Hanuman menghimpitnya dengan gunung Sumawana.
Perang tanding sengit antara Rama dan Rahwana
Perang tanding sengit antara Rama dan Rahwana
Dengan kematian Rahwana berakhir pula perlawanan balatentara Alengka. Rama dapat bertemu kembali dengan sang isteri tercinta. Namun ternyata kisah kehidupan belum lagi berakhir, menyisakan ganjalan di hati Sang Rama. Timbul perasaan ragu akan kesucian sang isteri setelah tinggal cukup lama ditawan di negeri Alengka.
Ini adalah episode ujian ketegaran diri seorang wanita. Yang diragukan kesucian dan sesetiaannya oleh sang suami tercinta. Untuk membuktikan itu semua, Shinta rela masuk ke dalam api yang membara. Mirip seperti kisah Ibrahim dalam risalah kenabian, Shinta-pun tidak terbakar oleh api yang berkobar. Sekaligus membuktikan akan kesuciannya sebagai seorang wanita mulia.
Spirit Ramayana
Ramayana adalah epos yang bisa sangat panjang diceritakan. Berbagai macam karakter tokoh ada di dalamnya. Bukan sekedar bertutur  tentang baik-jahat, atau hitam-putih belaka. Banyak warna-warni kehidupan manusia dipotret disana. Ada kejahatan, kelicikan, tipu muslihat namun diluar itu ada pula ketinggian budi meskipun berada di sisi antagonis seperti tercermin pada diri Kumbakarna dan Trijata.

Selasa, 20 Februari 2018

pengertian wayang kulit

Wayang kulit

Saka Wikipédia Jawa, bauwarna bébas abasa Jawa
Pagelaran wayang kulit dimainaké dhalang kondhang ing Indonésia, Ki Manteb Sudharsono. Lakoné Gathotkaca Winisuda.
Wayang Kulit iku pagelaran wayang ingkang mbabaraké lakon mahabharata utawa ramayana sing wayangé digawé saka kulit. Jinising wayang iki kang paling disenengi ing Tanah Jawa. Wayang iki digawé saka kulit kang ditatah lan diéntha kaya déné manungsa. Lumrahé wayang kulit nglakonaké lakon Wayang Purwa, nanging ana uga kang nganggo Carita Menak lan Babad Tanah Jawa, carita agama (KristenBuda), perjuwangan, lan manéka warna carita liyané.
Wayang kulit dilakokaké ing layar putih kang sinebut kelir. Déné wayang-wayang iku ditancepaké ing debog ana ing sisih tengen lan kiwané dhalang. Gamelan kang ana ing sisih mburi ngiringi pagelaran iki. Pagelaran wayang wis diakoni déning UNESCO ing tanggal 7 November 2003, dadi karya kabudayan kang édi péni ing babagan carita dongéng lan warisan kang berharga banget (Masterpiece of Oral and Intangible Heritage of Humanity). Suwaliké, UNESCO nyuwun supaya Indonésia njaga (preserve) warisan iku.[1]

Panyebaran[besut | besut sumber]

Wayang iki ora mung sumebar ing Jawa waé, nanging uga ing tlatah liya ing Nuswantara. Wayang kulit sumebar ing tanah Jawa lan uga pérangan liya ing Nusantara, nanging wayang iki luwih disenengi déning wong Jawa Tengah lan sapérangan Jawa Wétan. Ing antarané panggonan siji lan liyané duwé gagrag dhéwé-dhéwé, sing gedhé dhéwé ya iku Gagrag Ngayogyakarta lan Gagrag SurakartaGagrag Banyumas lan Gagrag Pesisiran uga kondhang ing tlatahé dhéwé.
Ing jaman saiki, pagelaran wayang antuk owah-owahan. Campursari lan dhagelan mlebu ing antarané pagelaran mau. Amarga wayang uga wis mlebu dadi acara télévisi, suwéné pagelaran kang asliné sewengi bisa dikurangi dadi sawetara jam waé.
Wayang kulit uga asring sinebut wayang purwa. Sumber caritané ya iku saka kitab Mahabharata lan Ramayana kang ditulis déning Mpu Sedah, Mpu Panuluh, lan Mpu Kanwa.

Panggawéné wayang[besut | besut sumber]

Wayang kulit lumrahé digawé saka bahan kulit kebo sing wis diprosès dadi kulit lembaran, saben siji paraga wayang mbutuhaké watara ukuran 50 x 30 cm kulit lembaran sing banjur ditatah nganggo piranti arupa wesi lancip. Wesi waja iki digawé luqih dhisik kanthi manéka wangun lan ukuran, ana sing lancip, pipih, cilik, gedhé lan wangunliyané sing duwé fungsi béda-béda.
Wosé piranti mau kanggo gawé manéka bolongan ukiran ana ing lembaran wayang. Sabanjuré dipasang pérangan awak liyané ya iku tangan. Tangan wayang dumadi saka rong pérangan ya iku lengen dhuwur lan ngisor, saéngga tangan bisa diobahaké niru obahing tangan manungsa. Gagang wayang digawé saka bahan sungu kebo utawa sapi. Tangan wayang uga diwènèhi gagang supaya dhalang bisa ngobahaké tangan wayang mau.

Karakteristik paraga wayang[2][besut | besut sumber]

Wangun irung:[besut | besut sumber]

  • Irung Walimiring: Katon kaya piso blathi cilik, kanggo nuduhaké alusing watak lan kabangsawanan, tuladha: ArjunaSambaKresna.
  • Irung Pelokan: Kaya wangun saparo who pelem, nuduhaké pepadhan karo watak raseksa kasar lan kuwat. Tuladha: Buta Rotor, Bragolba, lan paraga buta liyané.
  • Irung Pagotan: kanthi cangkem gusèn, nuduhaké watak galak lan kejem. Tuladha: Radèn Indrajit, Radèn Kangsa.
  • Irung Bentulan: Nuduhaké keprajuritan. Tuladha: Gatotkaca, Gandamana, Bratasena.
  • Irung Bruton: Nuduhaké sipat lucu, tuladha:Bagong.
  • Irung Sumpel: Nuduhaké sipat lucu, tuladha:Semar lan Limbuk.
  • Irung Térong: Nuduhaké sipat bisa narik kawigatèn, kaya pelawak. Tuladha: Garèng.
  • Irung Cempaluk: Nuduhaké sipat konyol kaya badhut. Tuladha:Pétruk.
  • Irung Pèsèkan: Nuduhaké lucu. Tuladha: TogogMbilung, Wanara.

Lambé lan garis cangkem[besut | besut sumber]

  • Cangkem Domis: Wangun cangkem satriya, nuduhaké kaélokan lan watak sènsitif
  • Cangkem Gusèn: Nggambaraké watak sok sarwa weruh, tanggung. Conto:Patih Sengkuni lan Kartamarma
  • Cangem Ngablak: Kabuka lan katon gusiné. Nggambaraké watak raseksa. Conto: Boma, Durmagati

Tlapukan[besut | besut sumber]

  • Mata Gabahan: Awangun wulir beras. Matané para ksatriya.
  • Mata Kedhelèn: Awangun wiji kacang, mata tokoh kaya Baladéwa, Setyaki.
  • Mata kedhondhongan: Awangun wiji kedhondhong, mata Patih Sengkuni lan Kartamarma.
  • Mata Pelengan: Nggambaraké karakter kejem, Indrajid lan Kangsa.
  • Mata Penanggal 1: Awangun wulan tanggal sapisan, nggambaraké watak sing ora bisa dipercaya. Tuladha: Cakil lan Pendhita Durna.
  • Mata Kolikan: Nggambaraké watak lucu kaya Semar.
  • Mata Plolo: Nggambaraké watak bodho lan gampang dibodhoni. Tuladha: Bagong lan Togog.

Uba Rampé pakeliran[besut | besut sumber]

Pakeliran utawa pagelaran wayang kulit merlokaké piranti ya iku antarané:
Cempala:thuthukan dhalang kanggo ngiringi antawacana lan omongan ing lakon.
Kelir:layar putih kang dibèbèr kanggo mainaké wayang.
Bléncong:Senthir kanggo gawé wewayangan, ing jaman saiki ana kalané senthir disulih nganggo petromax utawa lampu listrik.
Kepyak:digawé saka kuningan kanggo iringané dhalang.
Kothak:wadhah wayang lan kanggo dithuthuk Cempala
Gedebog/debog:kanggo tancepan wayang.
Gamelan:kanggo ngiringi pagelaran.

Simpingan[besut | besut sumber]

Akehe wayang ing kothak ora padha ing antarané dhalang siji lan liyané. Ana kang kurang saka 180, ana uga kang nganti 400 wayang. Wayang mau ana kang ditata ing pakeliran sisih tengen lan kiwa, ana uga kang ing njero kothak.

Simpingan Kiwa[besut | besut sumber]

Ing antarané kang ditata ana ing sisih kiwa ya iku:

Simpingan Tengen[besut | besut sumber]

Kang ditata ing sisih tengen diwiwiti saka wayang Brahala/Déwa Amral/Déwa Mambang dipungkasi nganggo wayang bayen.

Wayang Dhudahan[besut | besut sumber]

Wayang dhudahan ya iku wayang kang ora mèlu disimping nanging mung disimpen ana sajeroning kothak. Biasane wayang dhudahan iku kalebu wayang kang kerap dilakokake déning Ki Dhalang. Contone wayang dhudahan:
1. Dhudahan Kurawa
2. Dhudahan Pandhita lan Déwa
3.Dhudahan Raseksa (buta) Prepat
4. Dhudahan Panakawan
5. Dhudahan Keparak
6. Dhudahan Prajurit
  • Patih Udawa
  • Druwajaya
  • Pragota
  • Prabawa
  • Patih Tuhayata
  • Patih Saragupita
  • Patih Adimanggala
  • Patih Sabrangan
  • Ampyak/Prampogan
  • Wisata lan Wilmuka
  • Demang Sarapadha/Cekruktuna
  • Wadyabala Buta Pringgodani (Kalabendana, lsp)
  • Wadyabala Buta Ngalengka (Anggisrana,Yuyu Rumpung, Wil Kathaksini lsp)
  • Wadyabala Buta Kajiman/Bajulbarat
  • Wayang Setanan
  • Prajurit Kethek Tambak
7. Dhudahan Wanara
  • Anila
  • Anggada
  • Jembawan
  • Trigangga/Triyangga
  • Kapi Anggeni
  • Kapi Indrajanu
  • Kapi Suwida
  • Kapi Pramujabahu
  • Kapi Kingkin
  • Kapi Warjita/Cacingkanil
  • Kapi Janulen
  • Kapi Menda
  • Kapi Cucak Rawun
  • Kapi Saraba
8. Dhudahan Sato Kéwan
  • Gajah(Liman/Dwipangga/Diradha/Matengga.)
  • Banteng (Andhaka)
  • Macam (Simo/Sardhula)
  • Ula (Sarpa/Taksaka)
  • Celeng (wraha)
  • Garudha
  • Kidhang
  • Landhak
  • Jaran (Kudha)
9. Dhudahan Pusaka
  • Kreta Kencana
  • Maneka warna gegaman (Gadha, keris, jemparing, lsp)

Para Dhalang[besut | besut sumber]

Uga delengen[besut | besut sumber]

Rujukan[besut | besut sumber]

Wacan[besut | besut sumber]

  • Brandon, James (1970) On Thrones of Gold-Three Javanese Shadow Plays. Harvard University Press
  • Clara van Groenendael, Victoria (1985) The Dalang Behind the Wayang. Dordrecht, Foris
  • Keeler, Ward (1987) Javanese Shadow Plays, Javanese Selves. Princeton University Press
  • Keeler, Ward (1992) Javanese Shadow Puppets. OUP
  • Long, Roger (1982) Javanese shadow theatre: Movement and characterization in Ngayogyakarta wayang kulit. Umi Research Press
  • Mellema, R.L. (1988) Wayang Puppets: Carving, Colouring, Symbolism. Amsterdam, Royal Tropical Institute, Bulletin 315.
  • Mudjanattistomo (1976) Pedhalangan Ngayogyakarta. Yogyakarta (basa Jawa)
  • Soedarsono (1984) Wayang Wong. Yogyakarta, Gadjah Mada University Press

Pranala njaba[besut | besut sumber]

Wiracarita Mahabharata déning Krishna Dwaipayana Wyasa
Para paraga
Dinasti KuruParaga liya
Santanu | Gangga | Bisma | Satyawati | Citrānggada | Wicitrawirya | Ambika | Ambalika | Widura | Dretarastra | Gandari | Sangkuni | Subadra | Pandu | Kunti | Madri | Yudistira | Bima | Arjuna | Nakula | Sahadewa | Duryodana | Dursasana | Yuyutsu | Dursala | Drupadi | Hidimbi | Gatotkaca | Ahilawati | Utara | Ulupi | CitrānggadāAmba | Barbarika | Babruwahana | Irawan | Abimanyu | Parikesit | Wirata | Kicaka | Krepa | Drona | Aswatama | Ekalawya | Kertawarma | Jarasanda | Satyaki | Mayasura | Durwasa | Sanjaya | Janamejaya | Resi Byasa | Karna | Jayadrata | Kresna | Baladewa | Drupada | Hidimba | Drestadyumna | Burisrawa | Salya | Adirata | Srikandi | Radha
Topik kagandhèng
Pandawa | Korawa | Hastinapura | Indraprastha | Krajan ing Mahabharata |
Perang ing Kurukshetra | Bhagawad Gita | Krajan Kuru | Silsilah Pandawa lan Korawa

KEBUDAYAAN INDONESIA

Jaranan Buto Banyuwangi yang Semakin Mendunia Fajar pradina Redaksi Travel Share  0 Tweet  0 Share  0 2 komentar ...